Contoh makalah tentang memaafkan BAB III
BAB III
PEMBAHASAN
A. Arti Memaafkan
Secara
psikologis, memaafkan merupakan proses menurunnya motivasi membalas dendam dan
menghindari interaksi dengan orang yang telah menyakiti sehingga cenderung
mencegah seseorang berespons destruktif dan mendorongnya bertingkah laku konstruktif
dalam hubungannya sosialnya (Cullogh, Worthington, Rachal, 1997).
Menurut
Mario Teguh, memaafkan adalah melupakan, akan tetapi tidak melupakan semuanya. Cukup
dua hal yang harus dilupakan. Yang pertama adalah melupakan sakit hatinya,
hilangkan dendam dan kemarahan yang kita rasakan. Dan yang kedua adalah
melupakan keinginan untuk membalas, karena seseorang yang disakiti memiliki
kecenderungan untuk mengimbangkan
penderitaan itu dengan memberikan pembalasan yang setimpal.
Yang tidak
boleh dilupakan adalah pelajaran dari kesalahan yang sudah terjadi. Karena
orang-orang yang lemah, memaafkan dan melupakan pelajaran untuk berhati-hati,
untuk tidak mengulangi tertipu, untuk tidak mengizinkan dirinya dikhianati lagi
oleh orang yang sama. Orang yang bisa memaafkan, sebetulnya sedang menerima
kebaikan. Karena memaafkan itu bukan hanya baik, tapi membaikkan.
B. Fiksi
Menurut
Janis Spring (1996), ada lima anggapan keliru tentang memaafkan yang mungkin
membuat kita berhenti belajar melakukannya, yaitu :
1.
Pemaafan terjadi secara total dan
sekaligus
2.
Ketika anda memaafkan, perasaan negatif
terhadap orang lain berganti menjadi perasaan positif
3.
Ketika memaafkan seseorang, anda
mengakui perasaan negatif anda adalah salah atau tak dapat dibenarkan
4.
Bila anda memaafkan, anda tidak
akan mendapat imbalan apapun
5.
Bila anda memaafkan seseorang,
anda melupakan luka hati anda
Dengan mempercayai fiksi-fiksi tersebut, maka
sepertinya tingkah laku memaafkan jauh untuk bisa kita jangkau dan membuat kita
jadi berfikir hanya orang suci atau Nabi yang dapat melakukannya karena
dilakukan tanpa syaratn secara total, dan dengan cara mengorbankan diri
pribadi.
C. Fakta
Padahal
menurut Spring, ahli psikologi klinis dari Yale University AS, memaafkan
bukanlah tindakan yang bersih murni dan tidak mementingkan diri sendiri.
Memaafkan adalah bagian dari proses yang dimulai ketika kita berbagi rasa sakit
hati setelah peristiwa menyakitkan berakhir dan akan berkembang begitu kita
punya pengalaman mengoreksi diri, yang membangun kembali rasa percaya diri dan
keakraban terhadap orang lain.
Untuk
memperbaiki dugaan keliru tadi, kita perlu melihat kenyataan yang sesungguhnya
terjadi pada kita sebagai manusia biasa agar dapat lebih mudah belajar
memaafkan kesalahan.
1.
Proses memaafkan selalu
berlangsung perlahan dan berlanjut sepanjang hubungan kita dengan orang
tersebut. Mungkin saat ini kita hanya dapat memaafkan kesalahan seseorang sebanyak 10 persen, dan begitu kita membina
hubungan kembali kita mungkin dapat menambah dengan 70 persen, tapi tak pernah
lebih baik lagi.
Hal tersebut sah-sah saja. Kita
tak perlu menjadi orang baik bila kita memaafkan secara total, kita juga tak
perlu menjadi orang jahat bila tak bisa melakukannya. Kita hanya dapat memberi
apa yang mampu kita berikan dan apa yang orang lain peroleh.
2.
Beberapa orang mungkin bertahan
untuk memaafkan karena melihatnya sebagai “penghentian permusuhan / dendam”,
suatu kondisi dimana kepahitan lenyap digantikan rasa cinta dan kasih. Padahal sebenarnya
tak ada orang yang mampu mencapai kondisi seperti itu.
Dalam hidup, luka psikis tak
pernah sepenuhnya sembuh atau menghilang, ataupun secara ajaib digantikan hal
positif lain. Yang benar, seperti halnya cinta yang matang, memaafkan
membolehkan adanya pertimbangan serempak antara perasaan yang bertentangan,
gabungan dari rasa benci dan cinta. Bila kita memaafkan, kebencian kita tetap
ada, tetapi diimbangi dengan kenyataan orang yang menyakiti tidaklah begitu
buruk ataupun kita yang telah sangat naif.
3.
Sebenarnya, dengan memaafkan bukan
berarti kita mengingkari kesalahan pelaku atau ketidakadilan yang telah
terjadi, tetapi hanya membebaskannya dari pembalasan.
4.
Beberapa orang tak mau memaafkan
karena berfikir, “Mengapa saya harus membebaskan seseorang dari kewajiban
memperbaiki kesalahannya?”
Padahal, dengan memaafkan tidak
berarti kita lemah atau membuat orang lain jadi tidak bertanggung jawab. Bila
tujuan kita berekonsiliasi, memaafkan memerlukan penebusan dari pelaku.
Pemaafan yang sesungguhnya tidak bisa diberikan sampai pelaku membayarnya
melalui pengakuan, penyesalan, dan penebusan.
5.
Yang benar, bagaimanapun orang
yang disakiti tak pernah akan lupa seperti apa kita telah diperdaya atau
dikhianati, apakah kita memaafkan atau tidak.
Setelah bertahun-tahun berlalu,
kita akan tetap bisa mengingatnya, tetapi hanya sebagai bagian dari suatu
gambaran / potret yang juga melibatkan masa-masa kebersamaan lain yang lebih
positif dengan pelaku.
D. Memaafkan dalam pandangan Islam
Salah
satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah memaafkan, seperti
tertulis dalam firman-Nya : “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang
yang bodoh”. (QS. Al A’raf [7] : 199)
Allah
berfirman dalam Hadits Qudsi yang artinya : ” Nabi Musa a.s bertanya kepada
Allah : ” Ya Rabbi ! siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut
pandangan-Mu ?” Allah berfirman :” Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai
musuhnya), dapat segera memaafkan.” (Kharaithi dari Abu Hurairah r.a)
Perhatikan
juga firman Allah SWT berikut ini, “Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau
menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya
Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa.” (QS an-Nisaa’ [4]: 149)
Dalam
ayat lain Allah SWT berfirman: “… dan hendaklah mereka mema’afkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, .” (QS. An Nuur, 24:22)
Dan
perhatikan juga firman Allah SWT berikut ini : … dan jika kamu maafkan
dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Suatu
ketika seorang pria bertanya kepada Rasulullah SAW tentang akhlak yang baik,
maka Rasulullah SAW membacakan firman Allah, “Jadilah engkau pemaaf dan
perintahkan orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh.” (QS al-A’raaf [7] : 199). Kemudian beliau bersabda lagi, “Itu
berarti engkau harus menjalin hubungan dengan orang yang memusuhimu, memberi
kepada orang yang kikir kepadamu dan memaafkan orang yang menganiayamu.”
(Hr. Ibnu Abud-Dunya)
Kaum
beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang
dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an : “(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imraan [3]:134)
Dalam
hadist lain disebutkan : ” Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi
Allah dalam pemeliharaan-Nya dan ditaburi rahmat-Nya serta dimasukkan-Nya
kedalam surga-Nya yaitu : apabila diberi ia berterima kasih, apabila berkuasa
ia suka memaafkan, dan apabila marah ia menahan diri (tak jadi marah) .” (HR.
Hakim dan ibnu hibban dari Ibnu abbas dalam Min Akhlaqin Nabi)
Orang
yang mampu menahan marah dan memafkan oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang
kuat. Beliau bersabda: Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi
(orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah (HR.
Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
E.
Proses
memaafkan
Memaafkan merupakan motivasi seseorang mengurangi
keinginannya untuk menghindar dan mengasingkan diri dari orang yang telah
menyakiti. Memaafkan juga merupakan suatu upaya untuk mengurangi perasaan marah
serta keinginan untuk membalas dendam. Dengan demikian, memaafkan melibatkan
dua jenis tindakan yang melibatkan aksi intrapsikis serta tindakan
interpersonal. Enright (Enrignt & the Human Development Study Group, 1991)
menggambarkan beberapa variabel yang terlibat di dalam proses memaafkan orang
lain, seperti pertukaran emosi (emotional ventilation), sikap empati
terhadap seseorang yang telah menyakiti kita, dan juga menyadari akibat dari
tidak memaafkan dan keuntungan dari memaafkan. Faktor-faktor yang membuat
seseorang bisa untuk memaafkan orang lain adalah sebagai berikut: terkadang
seseorang juga melakukan perbuatan yang salah dan ia juga ingin dimaafkan oleh
orang lain, seseorang masih tetap ingin berhubungan baik dengan orang yang
telah menyakiti kita, kita hanya ingin melupakan hal tersebut dan tetap
melanjutkan hidup kita. Dengan memaafkan kita merasa telah melakukan hal yang
benar yang dianggap sesuai dengan prinsip moral yang kita anut (Resa, 2009).
Bagaimana seseorang dapat sampai pada tindakan
pemberian maaf yang ada dalam diri seseorang terjadi melalui
serangkaian proses. Robert Enright dan Gayle Reed (dalam Nashori, 2009)
mengungkapkan adanya empat tahap untuk pemberian maaf. Pertama, tahap
pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit
hati dan dendam. Semakin sering individu memikirkan peristiwa menyakitkan yang
dialami, menandakan ia masih terbelenggu dengan masalah yang dihadapinya
sehingga belum dapat melepaskan emosi-emosi negatifnya. Kedua,
tahap keputusan (decision phase), yaitu orang tersebut mulai berpikir
rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini orang belum
dapat memberikan maaf sepenuhnya. Ketiga, tahap tindakan (work phase),
yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada
orang yang telah melukai hati. Kempat, tahap pendalaman (outcome/
deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan.
Di sini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi
dirinya sendiri, lingkungan dan juga semua orang.
Menurut Nashori (2009) , selain empat tahap pemberian
maaf masih ada dua tahap lagi agar pemaafan dapat berlangsung secara optimal,
yaitu tahap memberi (giving phase), yaitu memberi sesuatu yang berharga
bagi orang lain, seperti memohonkan ampunan dan doa keselamatan bagi orang yang
pernah menyakiti. Tahap keenam adalah bekerja sama kembali dengan yang
bersangkutan.
F.
Memaafkan
mendatangkan kebahagiaan
Ketika seseorang merasa berat untuk memberikan maaf
kepada orang lain, ia memperoleh berbagai kerugian. Pertama: hati
dipenuhi emosi negatif seperti dendam, marah, dan benci kepada orang lain yang
dipersepsinya merugikannya. Bahkan ada orang yang mengatakan: “Dendam ini akan
saya bawa sampai mati.” Yang lain bilang: “Anak cucu saya akan mengenang rasa
sakit hati ini dan akan membalasnya suatu saat nanti.”. Penyimpanan emosi
negatif akan dapat merugikan seseorang, karena ia menyimpan penyakit dalam
hatinya. Ia dapat mengalami berbagai penyakit fisik akibat sakit hati yang
dipeliharanya. William & William (1993) mengungkapkan berbagai penelitian
yang menunjukkan dendam dan kemarahan membahayakan kesehatan jantung dan sistam
peredaran darah seseorang. Hal senada disampaikan oleh James Pennebaker (2003)
dalam buku Ketika Diam Bukan Emas, bahwa di antara 200 responden yang
diwawancarainya, 65 orang memiliki paling sedikit satu trauma masa kecil yang
mereka rahasiakan. Dalam diri mereka ada marah, dendam, benci. Mereka
mendapatkan diagnosis hampir semua masalah kesehatan besar dan kecil, seperti
kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, bahkan sakit telinga.
Kedua, hati yang dipenuhi energi negatif
akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang destruktif, baik dalam bentuk
kerasan, pengungkapan kemarahan di depan publik, maupun hujatan. Ketiga,
hati yang dipenuhi energi negatif akan mengarahkan individu untuk
berperilaku yang destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Oleh sebagian orang kata memaafkan mudah diucapkan
atau dituliskan, tapi sulit dilaksanakan. Penulis menyadari bahwa memaafkan
apalagi sampai mendatangkan kebahagiaan bukanlah perkara mudah. Berbagai
penelitian (McCullough et al, 2000) menunjukkan, memaafkan mengembangkan
keseimbangan dan rasa nyaman, mengurangi tekanan, meningkatkan penerimaan diri,
dan mengurangi keluhan kesehatan sehingga membantu seseorang menjalani
kehidupan yang lebih bahagia. Hal ini disebabkan ketika seseorang telah
memiliki kepribadian pemaaf, maka tidak ada bekas luka yang terpelihara dalam
hatinya. Luskin (dalam Nashori, 2009) mengungkapkan ada tiga hal yang menjadikan
kehidupan orang yang suka memberi maaf menjadi lebih sehat. Menurut Luskin,
orang yang memberi maaf tidak mudah tersinggung saat diperlakukan tidak
menyenangkan oleh orang lain. Selain itu, mereka tidak mudah menyalahkan orang
lain ketika hubungannya dengan orang tersebut tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Hal di tersebut diatas dapat dicapai karena mereka memiliki
penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang telah menyakiti mereka.
Luskin (dalam Nashori, 2009) melakukan penelitian
lanjutan terhadap 55 mahasiswa Universitas Stanford Amerika. Hasilnya adalah
mahasiswa yang dilatih meningkatkan ketiga komponen tersebut di atas (mudah
tersinggung, tidak mudah menyalahkan, memiliki penjelasan nalar) ternyata jauh
lebih tenang kehidupan sosialnya. Mereka menjadi tidak mudah marah, tidak mudah
tersinggung dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama. Di samping
itu, mereka pun semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain. Perilaku
memaafkan memang berawal dari pengalaman personal. Namun akhir dan puncak dari
tindak memaafkan sebenarnya ada di level sosial.
G.
Manfaat
memaafkan bagi kesehatan
Memaafkan
bagi sebagian orang sulit dilakukan. Namun dengan tidak memaafkan hanya akan
menghukum diri. Kebencian kronis hanya akan menimbulkan penyakit. Sebaliknya
belajar memaafkan akan memberikan manfaat kesehatan yang tidak terhitung.
Biasanya
orang yang cemas, takut, pemarah, dan bermusuhan cenderung sulit memaafkan
meskipun kejadiannya sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Studi menunjukkan
bahwa orang yang memaafkan lebih bahagia dan lebih sehat daripada mereka
memendam rasa benci.
Kebencian
menimbulkan kemarahan, rasa bersalah, permusuhan, dan sakit hati dari waktu ke
waktu. Emosi ini melepaskan hormon kortisol pada sistem Anda, yang buruk untuk
Anda. Di sisi lain, belajar memaafkan memberikan banyak manfaat kesehatan,
beberapa di antaranya adalah:
1. Meningkatkan
respon imun
2. Menurunkan
tekanan darah
3. Memperbaiki
pola tidur
4. Mengurangi
kecemasan dan depresi
5. Meningkatkan
harga diri
6. Memberikan
ketenangan pikiran
Anda
mungkin telah terluka oleh sesuatu yang dilakukan orang lain kepada Anda di
masa lalu atau harapan Anda tidak terpenuhi. Anda bahkan mungkin tidak ingat
alasannya. Bahkan orang yang telah menyakiti Anda tidak menyadari apa yang
sedang terjadi. Hanya Anda yakang berkubang dalam emosi ini dan itu
mempengaruhi kesehatan Anda. Anda akan membantu diri Anda sendiri dengan
membiarkan semuanya pergi.
H.
Contoh
kekuatan memaafkan
Pada
saat Abraham Lincoln masih pengacara muda, ia sering berkonsultasi dengan
pengacara lain tentang kasusnya. Pernah salah seorang pengacara melihat Lincoln
sekilas, saat dia duduk di ruang tunggu untuk menjumpai pengacara itu.
“Apa yang dia lakukan di sini? Singkirkan dia !!.
Aku tidak akan berurusan dengan seekor monyet kaku seperti itu!”
Lincoln
berpura-pura tidak mendengar, walaupun dia tahu kalau hinaan itu disengaja.
Biarpun malu, dia tetap bersikap tenang.
Ketika
pengadilan berlangsung, Lincoln diabaikan. Dia disisihkan tempat duduknya.
Pengacara yang begitu kejam itu menghina Lincoln, ternyata membela kliennya
dengan sangat brillian. Penalarannya sangat bagus. Penanganannya atas kasus
membuat Lincoln terpesona.
Lincoln
berkata, “Argumennya tepat & sangat lengkap. Begitu tertata &
benar-benar dipersiapkan. Aku akan pulang & lebih giat belajar hukum lagi.”
Dan
waktu-pun berlalu. Lincoln menjadi presiden. Di antara kritikus utamanya,
terdapat Edwin M. Stanton, pengacara yang pernah menghinanya &
melukai hatinya begitu dalam.
Dan
Lincoln mengangkatnya di posisi penting sebagai Sekretaris Perang,
karena Lincoln tidak pernah melupakan bahwa pengacara yang kata-katanya brutal
itu merupakan pengacara berotak cerdas yg amat dibutuhkan negaranya. Saat
Lincoln meninggal, Stanton berkata, “Dia merupakan mutiara milik peradaban.”
Hanya
seseorang yang berkarakter & punya semangat pengampun seperti Lincoln,
dapat bangkit & berhasil di atas penghinaan Stanton! Jaga suasana
hati. Jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan buruknya cara kita
bertindak. Pilih untuk tetap berbuat baik, sekalipun menerima hal yg tidak
baik.